Jumat, 31 Desember 2010

Bisnis sekolah musik mulai menggiurkan

Bisnis sekolah musik mulai menggiurkan



Sekolah musik atau kursus musik merupakan salah satu bisnis yang sangat menggiurkan. Itu terlihat dengan menjamurnya sekolah atau kursus musik yang menyebar hingga ke berbagai sudut kota.

Perkembangan positif sekolah ‘keahlian’ tersebut ditambah lagi dengan pola pikir masyarakat yang kian berubah dari tahun ke tahun.

M. Hardi, staf khusus kantor pusat Purwacaraka Music Studio (PCMS), mengatakan pola pikir masyarakat sekarang terhadap sekolah musik sungguh jauh berbeda bila dibandingkan dengan awal berdirinya PMCS.

Pada awalnya sekolah musik hanya dianggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat Indonesia. Alasannya, dulu sekolah musik masih diidentikkan sebagai sarana atau jalan untuk menjadi artis atau musisi terkenal, apalagi ketika mendengar nama besar sang maestro musisi Nusantara, Purwacaraka.

“Obsesi mereka hanya ke arah sana,” tuturnya kepada Bisnis di Bandung beberapa waktu lalu.

Ketika ingin bergabung, mayoritas orang tua siswa bertanya mengenai disalurkan-tidaknya anaknya untuk menjadi musisi atau artis.

Namun, manajemen PCMS menjelaskan PCMS murni memberikan pendidikan sekolah musik kepada muridnya. Jika memang ada muridnya yang memiliki kemampuan, pihaknya juga akan berusaha untuk menyalurkannya.

Tak jarang, itu membuat sebagian masyarakat menjadi minder. Fenomena tersebut dilengkapi pula dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.

“Apalagi bagi masyarakat yang keadaan ekonominya menengah ke bawah,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Kepala PCMS Cabang Bandung ini.

Namun, sekarang paradigma masyarakat sudah mulai berubah. Sekolah musik bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk mencerdaskan anak, yakni menyeimbangkan antara otak kanan dengan otak kiri.

Di tengah paradigma masyarakat yang memberikan sinyal positif pada sekolah musik tersebut, PCMS kian gencar menjangkau pasarnya. Kini sekolah yang berdiri sejak 1 Oktober 1988 ini telah memiliki 80 outlet yang tersebar di puluhan kota di seluruh Indonesia.

Pada awal 2000-an hingga 2009, PCMS pernah melakukan ekspansi pasar ke berbagai daerah dengan menggunakan sistem waralaba. Karena dirasa tidak maksimal, pihaknya lalu mengubah sistem tersebut.

“Sistem waralaba menjadi kurang maksimal karena susah untuk mengontrol kualitas pendidikan musik dan kuantitas murid. Lalu diganti menjadi sistem join hingga sekarang,” ujarnya.

Menurut dia, PCMS kini melakukan profit sharing kepada mitra bisnis yang bekerja sama dengannya.

Untuk melakukan kerja sama join membangun suatu outlet, diperlukan investasi sekitar Rp600 juta. Uang sebesar itu dibagi dua (fifty-fifty) antara mitra bisnis dengan pihak pengelola PCMS.

Pembagian hasilnya pun akan dibagi rata kepada kedua pihak setiap bulan setelah dikurangi biaya operasional outlet tersebut.

“Kontraknya lima tahun,” katanya.

PCMS memiliki 500 murid pada awal berdiri di satu cabang pertamanya. Akan tetapi, sekarang jumlah murid mencapai 350—400 murid setiap outlet di Indonesia karena telah terbagi ke beberapa cabang.

Dia mencontohkan, jumlah outlet di Bandung dan sekitarnya terdapat sebanyak 7 outlet. Jumlah muridnya meningkat 400% bila dibandingkan dengan awal berdirinya.

“Awal berdiri, jumlah muridnya 500 murid. Kini setiap outlet telah memiliki murid 350-an siswa. Jika digabungkan, jumlahnya lebih dari 2.000 siswa,” ujarnya.

Sejak berdiri, PCMS memiliki delapan kelas, yakni vokal, piano, drum, keyboard, gitar elektrik, gitar bass, gitar klasik, dan biola. Peminat terbanyak adalah kelas vokal, yaitu sebesar 50%.

Mayoritas yang menjadi murid sekolah musik tersebut adalah kalangan anak-anak yang mencapai 60%. Selain itu, terdapat pula kalangan remaja (20%), dewasa (10%), dan orang tua (10%).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar