Jumat, 31 Desember 2010

Anatomi Bisnis Islami

Mengapa bisnis harus sesuai syariah ? Pertanyaan ini sudah kita jawab pada tulisan edisi lalu. Moga dapat mencerahkan kita semua bahwa bisnis tak lepas dari amal keseharian kita dan amal – apapun itu – mesti terikat dengan syariah. Terikat? Yap, karena kita ingin berbisnis penuh ‘berkat’ dan berkah, agar bisnis kita menjadi salah satu jalan kita meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Insya Allah. Tetapi, selesaikah sampai di sini? Ooo… tidak! Pertanyaan masih bergulir. Setidaknya, masih ada tiga pertanyaan penting berikutnya. Pertama, bagaimana sesungguhnya anatomi bisnis yang sesuai dengan syariah itu? Kedua, saat Islam tegak menjadi tatanan hidup dunia semenjak masa Nabi SAW hingga runtuhnya Daulah Islam era Turki Utsmani tahun 1924, tak pernah ada istilah bisnis syariah atau bisnis Islami, lalu mengapa kini mesti muncul istilah itu? Ketiga, bisakah bisnis Islami berjalan sempurna dalam sistem saat ini ? Baiklah, teruskan membaca karena kita akan temukan jawabannya sesaat lagi, jadi jangan kemana-mana…

Pertama, Anatomi Bisnis IslamiBisnis dengan segala macam aktivitasnya terjadi dalam kehidupan kita setiap hari, sejak bangun pagi hingga tidur kembali. Alarm jam weker yang membangunkan kita dini hari, sajadah alas shalat kita, susu instan yang “aku dan kau” minum, sepeda motor yang mengantarkan kita ke kantor serta semua kebutuhan rumah tangga kita, seluruhnya adalah produk yang dihasilkan, didistribusikan, dan dijual oleh para pelaku bisnis. Uang yang dibelikan beragam produk tersebut juga – salah satunya - diperoleh dari bekerja pada suatu bisnis.
Contoh di atas menunjukkan betapa komprehensifnya cakupan bisnis. Bila semua cakupan bisnis ini dicoba diterjemahkan, maka akan muncul pengertian yang komprehensif pula. Mari kita lihat.
Kamus Bahasa Indonesia mengartikan bisnis sebagai “usaha dagang, usaha komersial di dunia perdagangan, dan bidang usaha”. Skinner (1992) mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti (1996) bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”. Sementara, dalam pandangan Straub dan Attner (1994), bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Barang yang dimaksud adalah suatu produk yang secara fisik memiliki wujud (dapat diindera), sedangkan jasa adalah aktivitas-aktivitas yang memberi manfaat kepada konsumen atau pelaku bisnis lainnya.
Dari semua definisi yang digali dari fakta bisnis tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi/pelaku bisnis akan melakukan aktivitas bisnis dalam bentuk: (1) memproduksi dan atau mendistribusikan barang dan/atau jasa, (2) mencari profit dengan menjual, menyewakan, mengerjakan sesuatu, mendistribusikan, dan aktivitas sejenis lainnya, dan (3) mencoba memuaskan keinginan konsumen.
Dari pengertian tersebut di atas juga dapat dipahami bahwa setiap organisasi bisnis akan melakukan fungsi dan aktivitas yang sama. Dengan hantaran pengamatan terhadap definisi yang digali dari fakta bisnis yang ada, sepintas, banyak dari kita akan beranggapan “kalau begitu lalu apanya yang beda? Kan faktanya sama, fungsinya sama dan aktivitasnya juga sama!” Anggapan ini bisa dimaklumi jika kita berhenti sampai di sini. Namun jika kita bedah anatomi bangunan bisnisnya, barulah kita akan melihat bedanya? Penasaran? Mari kita bedah!
Bangunan bisnis Islami jika didalami sebenarnya bisa dibandingkan dalam sejumlah aspeknya dengan bisnis non Islami. Pembandingan ini akan memudahkan pemahaman terhadap faktanya sedemikian sehingga memudahkan kita untuk melihat perbedaannya dan juga meluruskan dalam mempraktikkannya. Berikut ikhtisar anatomi bisnis Islami vs bisnis yang tidak Islami (konvensional sekuler) :

1. Asas : Aqidah Islam (nilai-nilai transendental) vs asas Sekularisme (nilai-nilai material).
2. Motivasi : Dunia - akhirat vs Dunia.
3. Orientasi : Profit dan Benefit (non materi/qimah), Pertumbuhan, Keberlangsungan, dan Keberkahan vs Orientasi : Profit, Pertumbuhan, dan Keberlangsungan.
4. Strategi Induk : Visi dan misi organisasi terkait erat dengan misi penciptaan manusia di dunia vs Visi dan misi organisasi ditetapkan berdasarkan pada kepentingan material belaka.
5. Manajemen/Strategi Fungsional Operasi/Proses : Jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran, Mengedepankan produktivitas dalam koridor syariah vs Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran, Mengedepankan produktivitas dalam koridor manfaat.
6. Manajemen/Strategi Fungsional Keuangan : Jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran keuangan vs Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses dan keluaran keuangan.
7. Manajemen/Strategi Fungsional Pemasaran : Pemasaran dalam koridor jaminan halal vs Pemasaran menghalalkan cara.
8. Manajemen/Strategi Fungsional SDM : SDM profesional dan berkepribadian Islam, SDM adalah pengelola bisnis, SDM bertanggung jawab pada diri, majikan dan Allah SWT vs SDM profesional,
9. SDM adalah faktor produksi, SDM bertanggung jawab pada diri dan majikan.
10. Sumberdaya : Halal vs Halal dan haram.

Jika sembilan karakter bangunan bisnis Islami ini diringkas, maka pembedanya dengan bisnis yang tidak Islami adalah pada aspek Keberkahan. Berkah adalah ridlo Allah Swt atas amal bisnis, yaitu ketika bisnis dijalankan sesuai dengan syariah-Nya. Karenanya, aktivitas bisnis Islami tidak dibatasi kuantitas kepemilikan hartanya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Nah!

Kedua, Mengapa Harus Disebut Bisnis Syariah?
Benar, saat Islam tegak menjadi tatanan hidup dunia semenjak masa Nabi SAW hingga runtuhnya Daulah Islam era Turki Utsmani tahun 1924, tak pernah ada istilah bisnis syariah atau bisnis Islami. Itu terjadi - sederhana saja - karena sistem hidup yang digunakan adalah sistem Islam, bukan sistem kapitalisme atau juga sosialisme komunisme. Jadi wajar saja, kalau terma yag digunakan cukup ‘bisnis’ karena secara otomatis pengertiannya akan merujuk pada sistem yang dianut saat itu. Begitu pula dengan saat ini, jika disebut kata ‘bisnis’ saja tanpa embel-embel apapun, konotasinya pasti mengarah pada sistem yang diterapkan saat ini, maka pengertiannya akan menjadi ‘bisnis kapitalis’ atau ‘bisnis konvensional’ yang pasti tidak Islami atau jauh dari syariat Islam. Ini sama sederhananya dengan dikotomi ‘perbankan syariah’ vs ‘perbankan konvesional’, ‘pendidikan Islami’ vs ‘pendidikan sekuler’ dlsb.

Atas dasar itu, menjadi penting penggunaan istilah ‘bisnis Islami’ atau ‘bisnis syariah’ untuk menegaskan sifat bangunan bisnis yang dilakukan dan memberi efek edukasi pada masyarakat luas bahwa kita memang tengah hidup dalam sistem yang tidak islami.

Ketiga, Bisakah Bisnis Islami Berjalan Sempurna Dalam Sistem Saat Ini ?
Pertanyaan ketiga ini harus dijawab dengan renungan yang dalam sambil mencermati fakta bisnis yang ada di sekitar kita. Mari kita mulai…
Bisnis yang sukses umumnya adalah bisnis yang mendapat ‘berkat” (profit, tumbuh dan sinambung), tapi tidak atau belum tentu berkah. Lalu, kalau pun ada yang ‘berkat’ dan berkah, jumlahnya sedikit dan sulit berkembang optimal, karena terhambat perilaku bisnis sekuler yang menghalalkan segala cara. Mulai dari uang pelicin saat perizinan usaha, kickbak yang diminta saat berhasil memenangkan tender, menyimpan uang dalam rekening koran yang berbunga, hingga iklan yang tidak senonoh. Suka tidak suka, ini semua karena bisnis kita hari ini hidup dalam sistem kapitalistik, sistem yang tidak ideal lagi destruktif…
Bisnis Islami hanya akan hidup secara ideal dan sistem dan lingkungan yang Islami pula. Sebaliknya bisnis non Islami juga hanya akan hidup secara ideal dalam sistem dan lingkungan yang sekuler/sosialis. Itu semua karena - bagaimanapun - aktivitas bisnis akan sangat bergantung pada sistem dan lingkungan ada.
Jadi, apa yang mesti kita lakukan? Cukupkah kita berpuas diri dengan kondisi bisnis syariah hari ini yang tumbuh berkembang tidak ideal? Pengusaha mesti bersatu wujudkan sistem Islam (syariah dan khilafah)? Atau … jangan-jangan kita masih pragmatis saja seraya terus mencari alternatif lain selain Islam? Dan kalau ini yang terjadi, apa kata dunia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar