Rabu, 17 Maret 2010

(Tugas Tulisan Bahasa Indonesia) Arifinarto / 11207502 / 3EA10


Buat Apa Internet Murah!

"Ayo buat internet jadi murah, kencang, dan tersedia di seluruh penjuru."

Jangan salah, judul artikel ini diakhiri dengan tanda seru bukan dengan tanda tanya. Banyak pihak yang tidak tahu (atau tidak mau tahu) apa itu internet dan gunanya. Masyarakat internet Indonesia boleh dikatakan masih kecil sekali sehingga tidak banyak yang peduli. Sudah komunitasnya kecil, banyak yang tidak ingin internet murah.

Ketika ada keinginan internet murah, tanpa disadari akan ada kenaikan harga akses internet. Kenaikan harga pulsa lokal, saat sebagian besar pengguna masih menggunakan dial-up untuk mengakses internet, memicu kenaikan akses internet. Cantik sekali kebijakan kenaikan akses yang merupakan pandangan lain dari orang atau komunitas yang tidak menganggap penting internet. "Loh, jadi lucu yah."

Indonesia negara yang banyak anomali. Kreativitas semakin tertantang dengan sedemikian banyak hambatan. Mimpi internet murah tidak bisa dibendung hanya dengan kenaikan pulsa dial-up. Internet murah harus terwujud apa pun daya yang harus ditempuh karena kegunaan dan dampak runtutan dari internet sangat positif untuk banyak segi kehidupan.

Ekonomi internet

Tahun 2000 terjadi perkembangan semu internet. Dikatakan semu karena banyak pemain bermain di bisnis internet, tapi penggunanya hanya sedikit sekali. Gelembung ini akhirnya menyebabkan tutupnya beberapa pemain internet dan dampaknya sungguh parah, banyak yang takut terjun di dunia internet.

Tiga tahun kemudian terjadi kejutan di dunia internet karena kehadiran permainan internet yang tumbuh di Korea Selatan dan menjalar ke Indonesia. Lalu Lintas internet secara lokal meningkat dan dipenuhi oleh para gamers. Bisnis ini juga menumbuhkan bisnis turunannya, seperti kartu prabayar bermain dan warung-warung permainan. Warung internet disulap menjadi warung permainan dan menjadi tempat antrean komunitas gamers.

Perubahan mencolok ditandai dengan kemunculan perusahaan transportasi udara yang membuat reservasi melalui internet. Ternyata banyak penggunanya dan sekarang tidak asing lagi ke lapangan udara membawa selembar kertas pengganti tiket. Fenomena ini ditiru pihak lain yang mulai percaya peranan dunia internet dalam mendukung usaha mereka.

Sekian lama berdarah, situs berita internet mulai memetik hasil garapan mereka. Banyak pihak percaya dengan pengaruh layanan mereka sehingga pundi mereka kemasukan jualan iklan atau banner. Uniknya, pengejaran berita juga terjadi saat pemilu saat situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga ramai diakses para pengguna internet.

Dunia internet kembali diramaikan dengan hal-hal unik. Kalau tahun silam banyak orang yang mencari koran untuk hasil kelulusan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), sekarang sepi peminat. Coba jalan ke warung internet, ternyata mereka kebanjiran rezeki.

Warung-warung internet diserbu pencari berita kelulusan, berbeda dengan koran, mencari lewat format digital lebih mudah dan cepat.

Sebuah ajang diselenggarakan klub otomotif kendaraan keluarga untuk menjaring 1.000 kendaraan. Tahap awal yang mereka lakukan dimulai dari informasi kegiatan melalui milis. Ternyata respons dari milis sudah bisa mendapatkan pendaftaran sepertiga dari target. Hanya melalui milis, segala sesuatu bisa dihasilkan walau belum sehebat media cetak.

Secara ekonomi dan kebutuhan, sudah jelas internet memang dibutuhkan. Hambatan besar pengguna internet adalah harga. Kalau para pengelola negara mengetahui, harusnya banyak kebijakan dibuat untuk membuat internet menjadi murah, bukan sebaliknya.

Barometer

Penetrasi internet merupakan barometer tingkat kemajuan suatu bangsa. Indonesia yang berdasarkan data di http://www.internetworldstats.com memiliki sekitar 15,3 juta pengguna internet atau penetrasi 7 persen dari jumlah penduduk. Dilihat dari jumlah nomor Internet Protocol (IP) yang beredar atau dialokasikan lebih dari 2,8 juta, maka bisa di perkirakan maksimum pelanggan hanya berkisar 2 juta.

Bandingkan dengan tetangga Malaysia, penetrasi mereka hampir 38 persen dengan jumlah nomor IP alokasi 2,6 juta. Singapura lebih hebat dengan jumlah pengguna mencapai 68 persen dan jumlah nomor IP 2,6 juta. Aneh, karena kebutuhan bandwidth harusnya kita lihat bukan dari penetrasi, tapi dari jumlah pengguna dan nomor IP. Nomor IP Indonesia yang dialokasikan lebih banyak dari negara tetangga.

Dengan jumlah IP sebanding dengan negara tetangga, seharusnya biaya internet menjadi sebanding. Sayangnya, banyak pihak memang tidak memiliki itikad untuk membuat harga murah dan bandwidth besar.

Asumsi alokasi bandwidth per nomor IP sebesar 10 Kbps (kilo bit per second) boleh kita terapkan. Jadi kebutuhan bandwidth saat ini sebenarnya mencapai 30 Gbps (giga bit per second). Coba teropong penyedia internet, ternyata total baru sebesar 6 Gbps. Dengan kata lain, satu nomor IP hanya dialokasikan bandwidth internet sebesar 2 Kbps.

Dengan harga mahal dan bandwidth minim, pertumbuhan internet memang sangat tidak mendukung. Bagaimana internet kita maju jika kebutuhan pengguna tidak dapat dipenuhi. Tidak perlu muluk dengan proyek ratusan juta dollar AS yang ingin menghubungkan semua pulau kalau kebutuhan saat ini tidak dipenuhi. Kata orang, masa lalu sekadar sejarah, masa depan baru angan-angan, yang harus dilakukan adalah saat ini.

Dengan bandwidth hanya 2 Kbps per nomor IP, mustahil mengembangkan content pendukung. Jika berbicara VoIP (voice over internet protocol), mana bisa pemerintah ingin menerbitkan aturan kualitas layanan. Lucu sekali kalau saat pembahasan aturan kualitas layanan VoIP diatur bandwidth minimum sebesar 32 Kbps. Kalau pakai hitungan kebutuhan ini, maka harga ke pelanggan sudah tidak masuk akal lagi.

Tidak peduli

Mengikuti apa yang tercantum dalam dokumen serta rencana kerja WSIS merupakan hal baik dan saat ini sedang dijalankan pemerintah. Tetapi, sesuai dengan dokumen, konektivitas merupakan sarana pemberdayaan utama guna pembangunan masyarakat informasi. Juga ditegaskan mengenai infrastruktur jaringan yang mudah diakses serta terjangkau dan menggunakan lebih banyak pita lebar.

Tidak peduli dengan jumlah pengguna internet. Tidak peduli dengan harga internet. Tidak peduli dengan biaya gono-gini akses internet. Tidak peduli masa depan internet Indonesia. Dicari dengan sangat yang ingin membuat internet kencang dan harga terjangkau. Saat ini dibutuhkan, bukan nanti.

Ayo, para pengurus asosiasi penyedia jasa internet, putar otak untuk keinginan masyarakat internet sehingga akan mempercepat kemajuan sosial dan ekonomi negara ini, serta kesejahteraan individu, komunitas, dan rakyat.

Marcelus Ardiwinata, Praktisi jaringan dan anggota Dewan Pengawas APJII

Arifinarto : Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma.

Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar